Cari Blog Ini

Rabu, 01 Juni 2011

Tentang Penulis

TENTANG PENULIS

Dilahirkan di Denpasar, dari orang tua yang berasal dari Br. Umadiwang, Belayu, Marga, Tabanan, di usianya yang akan menginjakkan angka 40 tahun ini, masih terasa begitu banyak tugas yang masih harus dikerjakannya. Karena atas kesadarannya bahwa kelahiran adalah merupakan suatu mandat tugas yang tidak dapat dipesan; waktu, tempat ataupun tingkat sosial ekonomi tempat lahirnya inilah menjadikannya selalu haus untuk ingin meminum pengetahuan kewajiban sebagai pratisentana untuk diupayakan dengan segala daya dan upaya. Dalam usia relatif muda ini pula telah disandang berbagai macam predikat, mulai dari gelar kesarjanaan Arsitektur, keterlibatan dalam berbagai kegiatan LSM sosial ataupun keagamaan, kepanitiaan berbagai pembangunan Pura, sebagai Penglingsir dikalangan keluarga Besar, dan lain sebagainya. Pada Organisasi Pasametonan Balangan seluruh Bali, yang dibidaninya dipercayakan duduk sebagai Ketua III Penglingsir Bagian Palemahan. Dan pada Pengurus Pusat Keluarga Besar Pratisentana Dalem Putih Jimbaran yang juga dibidaninya duduk sebagai Sekretaris Umum. Kepercayaan inilah yang membangkitkan kesadarannya akan harapan dari keluarga besar tertuju padanya. Dari begitu besar beban yang ada di pundaknya, hanya keinginan untuk mengupayakan pelurusan dan persatuan keluargalah yang ingin dicapainya. Oleh karena dari berbagai kebengkokan yang telah beratus tahun itu dapat menjadi lurus kembali, tidak akan ada lagi bagian dari keluarga ataupun keturunannya menemukan kesulitan-kesulitan sebagaimana yang telah dialaminya ataupun leluhurnya terdahulu. Upayanya ini telah terlihat jelas dari salah satu hasil karyanya dalam buku ini sebagai hasil dari penelusurannya bersama beberapa penglingsir keluarga yang lain selama puluhan tahun tanpa henti.
Dengan membaca buku ini, niscaya kegelapan yang ada pada sebagian besar Trah Ida Dalem Putih Jimbaran secara perlahan mendapatkan pencerahan. Selanjutnya menjadi tonggak penerangan bagi keluarga besar yang menginginkan pemahaman tentang kawitannya lebih jauh. 

Susunan Pengurus Pusat Pratisentana Dalem Putih Jimbaran

SUSUNAN PENGURUS PUSAT
PRATI SENTANA DALEM PUTIH JIMBARAN
PERIODE I
1998

PENASIHAT :          
1. I Wayan Diarsa                  (Jimbaran, Badung)
2. I Nyoman Lastra                (Kerambitan, Tabanan)
3. I Nyoman Linggih              (Jembrana)
4. Gde Arka Sindhu               (Belayu, Tabanan)
5. I Putu Gede S                     (Den Carik, Buleleng)

KETUA UMUM        : Drs. I Made Tarip Widarta  (Jimbaran, Badung)
KETUA I                    : Drs. I Ketut Suartha             (Negara, Jembrana)
SEKRETARIS            : Ir. Gde Kurnia S. Arka        (Belayu, Tabanan)
BENDAHARA          : Drs. I Pt. Arjana                   (Kayu Putih, Buleleng)

KOORDINATOR WILAYAH:
BADUNG                  : Drs. Made Tarip Widarta, (Jimbaran)
TABANAN                : Gde Pt. Sucita, (Tunjuk)
JEMBRANA              : Drs. I Kt. Rania, (Jembrana)
BULELENG               : I Nyoman Sri Natha, (Kayu Putih)

DITETAPKAN DI JIMBARAN, 24 MEI 1998.

Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

  1. I Gde Nym. Pen, Br. Umadiwang, Belayu, Salinan Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu Grya Satrya,
  2. I Gde Arka Sindhu, Br. Umadiwang, Belayu, Salinan Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu Belayu..
  3. I Kt. Sudharsana, Br. Basang Tamiang, Kapal, Salinan Purana Pucak Kembar Pacung, Baturiti,
  4. I Kt. Sudharsana, Br. Basang Tamiang, Kapal, Salinan Babad Dalem Ireng
  5. Rai Putra, IB. Drs. Babad Dalem, UPADA SASTRA, 1991
  6. Anonim, Babad Dalem Tarukan
  7. Anonim, Babad Pulasari
  8. Anonim, Pabancangah Puri Keramas
  9. Yadnya, I Gst. Ag. Pt, Prati Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan, Prawartaka Pura Kawitan di Banjar Dukuh Gel-gel, Klungkung, Cetakan Pertama, Seri Permulaan, 1999
  10. Kt. Subandi, Berbakti Kepada Leluhur
  11. Putra I Gst. Kt, Br. Umadiwang Belayu, Salinan Purana Pura Pucak Empelan Dalem Semeru.
  12. Anonim, Babad Pura Dalem Batu Kuub.
  13. Gde Agung, AA. Prof. DR. S.H. Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Udayana, pada Orasi Ilmiah Babad Sebagai Sumber Sejarah, Percetakan Unud, 2001
  14. I Gde Nym. Pen, Br. Umadiwang Belayu, Salinan Babad Pulaki

Penutup

PENUTUP
B
ahagia sekali rasanya ketika upaya yang telah dilakukan bertahun-tahun dari beberapa generasi terdahulu yang begitu haus akan kesujatian diri, meskipun telah dilengkapi oleh berbagai macam atribut simbolik yang begitu tinggi hingga sangat sulit untuk mengelupas apalagi mengupasnya, kini atas perkenanNya pula telah terkupas secara jelas, lugas dan gamblang. Tetapi penulis yakin, dengan segala batasan bahan, ataupun kemampuan yang ada tentunya masih ada kalangan tertentu yang belum puas akan penjelasan tulisan di atas. Baik dari tatanan cara penulisan ataupun dari unsur isinya. Penulis mengharapkan sekali berbagai masukan untuk lebih menajamkan pemahaman kesujatian diri sebagai trah Ida Dalem Putih Jimbaran. Dan dari tulisan ini, tidaklah ada maksud pemaksaan pemahaman akan halnya keyakinan individu yang merupakan hak mendasar individu itu sendiri untuk memutuskannya. Juga tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan pihak-pihak lain yang termuat dalam tulisan ini. Hanya atas kesadaran dan bhakti yang ada ini selalu terasa kurang untuk menghaturkan sebuah karya yang mampu penulis hasilkan. Sekalipun dituangkan secara singkat, dalam penulisan alakadarnya yang membutuhkan waktu ± 5-10 hari ini tidaklah dimaksudkan sebagai upaya serangan mendadak kepada pihak yang masih memiliki keraguan akan kebenaran hal-hal yang disajikan. Apapun bentuk keraguan yang ada, sebagai penglingsir dalam keluarga besar, penulis menganggap seyogyanyalah tulisan ini disosialisasikan. Untuk kemudian dapat dilaksanakan bagian-bagian yang mesti dikerjakan, diperbaiki dan diluruskan sebagaimana swadarmaning makawitan. Bila mungkin terdapat satu atau beberapa hal kesalahan dalam tulisan ini, penulis menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya.
Besar harapan penulis, kegelapan di dalam keluarga yang kemungkinan disebabkan oleh kurang pahamnya sejarah kawitan dapat mulai terterangi, sekalipun sebatas terang lilin. Semoga bermanfaat.
Om Sarwa Karya Prasidhantam, Om Cantih, Cantih, Cantih Om.

Kesimpulan

KESIMPULAN
H
al terpenting sebagai akhir tulisan ini perlu ditegaskan bahwa, dari berbagai ulasan di atas, secara sederhana disimpulkan menjadi 2 (dua) hal. Yakni;
Pertama, dari sisi sumber data yakni sumber babad/prasasti/purana tentang Babad Dalem Kembar Wijiling Watu dengan keaslian tulisan sejarah pada intinya yaitu;
Tulisan dalam Babad/Prasasti/Purana adalah hasil karya sastra sebagai upaya penghormatan, penghargaan, penyucian tokoh dimaksud, dibuat oleh dan untuk kalangan terbatas pratisenta leluhur bersangkutan. Pencapaian pemahamannya membutuhkan pengupasan, kesucian dan kejernihan jiwa.Untuk itulah hasil karya sastra ini disucikan/sakral.
Sedangkan dalam gaya bahasa tulisan Sejarah yang bersifat umum, semua hal tertulis secara jelas dan gamblang sebagaimana adanya. Karena diperuntukkan kepada khalayak umum. Sifat rasional, ilmiah, mudah dicerna dan tidak disucikan adanya/provan.
Kedua, dari isi cerita dan sejarah yang dikandung dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut;
a.       Berdasarkan pemahaman ulasan tentang sira Ida Dalem Putih Jimbaran yang  dimaksudkan oleh penulis Prasasti adalah Ida Dalem Balangan. Sedangkan Ida Dalem Ireng adalah I Gusti Agung Maruti.
b.       Pratisentana Ida Dalem Putih Jimbaran/Ida Dalem Balangan berkawitan di Pedharman Dalem Sri Krsna Kepakisan (Raja Bali), dari Kawitan Ida Dalem Tarukan.Pratisentana Ida Dalem Ireng berkawitan pada Sri Nararya Krsna Kepakisan (Mahapatih)/I Gst Agung Maruti.
c.       Pasametonan di Pesalakan Jimbaran antara pratisentana Dalem Sri Krsna Kepakisan dengan pratisentana Nararya Sri Krsna Kepakisan merupakan bagian punggelan sejarah yang mesti diingat dan dipetik hikmahnya. Wujud pasametonan sebagaimana bhisama tidak dapat diingkari apalagi diputus oleh pratisentananya yang ada saat ini. 

Sira Dalem Kembar Wijilling Watu

SIRA DALEM KEMBAR WIJILING WATU
B
erdasarkan cerita kejadian alih kekuasaan dari Ida Dalem Di Made kepada I Gusti Agung Di Made yang juga bergelar  dan I Gusti Agung Maruti, dan kejadian dikejar-kejarnya Ida Dalem Tarukan oleh pasukan Kerajaan Dalem Semara Kepakisan hingga Dalem Waturenggong untuk dibunuh karena mengakibatkan terbunuhnya putri kesayangan Ida Dalem Semara Kepakisan, kemudian mengapresiasikan bahasa sastra pada babad/prasasti/purana Ida Dalem Kembar Wijiling Watu, dapat disederhanakan garis besar ceritanya sebagai berikut;
Bahwa pemaknaan kembar dimaksudkan sebagai kesamaan tempat/lokasi kelahiran di Kerajaan Klungkung. Tentang kesamaan kelahiran dari batu besar atau air di tukad/sungai Unda, batu besar adalah simbolik dari kekuatan dasar /pengenteg. Pengenteg gumi/jagat adalah Raja.
Sedangkan sungai/tukad Unda adalah Sungai besar di wilayah Klungkung. Sungai/tukad juga bermakna sebagai tempat mengalirnya air dengan segala kekotoran yang dilaluinya. Dengan demikian pemaknaan kelahiran dari batu/air di tukad Unda dimaksudkan sebagai tergerusnya /diturunkannya /dibuangnya seseorang yang dahulunya sebagai bagian dari anggota keluarga kerajaan besar di wilayah Klungkung.
Pengupasan ini jika dikaitkan dengan kondisi Ida Dalem Putih Jimbaran/Ida Dalem Balangan yang lahir saat pelarian akibat Ida Dalem Tarukan dikejar kejar pasukan kerajaan Gel-gel, demikian pula terhadap I Gusti Agung Putu Agung yang dikejar pasukan kerajaan yang sama hingga kedua-duanya bertemu di Jimbaran. Inilah maksud penulis yang menyatakan kelahiran beliau Kembar dangan menyatakannya sebagai Dalem Kembar.
Melanjutkan ceritera tentang adanya sabda awang-awang/akasa/lembu nandini tentang bhisama kepada Ida Dalem Kembar tidak dapat menjadi penguasa kembali, hal ini seolah sebagai penegasan tentang bhisama Ida I Dewa Agung Jambe yang menjatuhkan bhisama nyusurang kewangsan dan kasametonang, menjadi semakin jelas adanya siapa yang dimaksudkan sebagai tokoh Ida Dalem Kembar tersebut. Mereka diberi nama yang sama Pesalahan. Inilah yang dimaksud dengan saudara kembaran dari kelahiran yang sama tetapi berbeda.
Menyadari akan ditulisnya cerita-cerita dalam berbagai babad/prasasti/purana yang ada baik penguger maupun penyanding ini dapat kita telusuri dan amati situasi yang terjadi dimulai ketika terjadinya peperangan laskar pendukung I Dewa Agung Jambe untuk mengembalikan tahta kerajaan Bali tahun 1677M itu, tentunya kondisi masyarakat sangat-sangat mencekam dalam ketakutan. Dalam rentang waktu peperangan yang akhirnya dapat mengakibatkan gugurnya I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made, keresahan masyarakat yang kesemuanya tertuju pada perkembangan situasi peperangan tersebut, kembali menegangkan khususnya masyarakat Jimbaran di bawah kekuasaan Ida Brahmana Wayan Petung Gading oleh karena rombongan pengungsian putra putri beserta pengikut I Gusti Agung Pt Agung menuju Jimbaran. Ketegangan seluruh masyarakat Bali akhirnya dapat diakhiri oleh kedatangan langsung Ida Brahmana Wayan Petung Gading menghadap Ida Dalem I Dewa Agung Jambe. Kondisi akhir inilah akhirnya membuat nama besar Ida Brahmana Wayan Petung Gading, yang dinyatakan sebagai trah Dalem di Jimbaran menjadi terkenal di Bali pada masa itu sebagai pahlawan pengandeg perang. Selanjutnya kehidupan masyarakat Jimbaran khususnya keluarga Ida Brahmana Wayan Petung Gading bersama I Gusti Agung Maruti 1200 orang pengikutnya yang datang ke Jimbaran mempersiapkan diri melaksanakan kehidupan baru dalam suasana baru. Disamping itu pula, menghadapi keputusan bhisama kasametonang yang diterima dari Ida Dalem I Dewa Agung Jambe, sudah tentu dimulai persiapan untuk mengaktualisasikannya. Karena tidak ada seorangpun yang berani menentang bhisama tersebut.
Dari sinilah dimulai upaya-upaya untuk membuat suatu tatanan baru melengkapi, memperbaharui atau membuat suatu yang baru tentang hal-hal yang sangat penting berkaitan dengan kegiatan keagamaan sebagai umat Hindu di Bali. Disamping itu, Ida Brahmana Wayan Petung Gading dan I Gusti Agung Putu Agung sebagai penguasa/keturunan penguasa, sudah barang tentu menjadi contoh anutan bagi seluruh rakyatnya dalam menaati perintah Guru Wisesa saat itu. Hal mendasar sebagai umat Hindu adalah berhubungan dengan kawitan (kepercayaan adanya leluhur), aktualisasi dari adanya bhisama kasametonang tersebut berimplikasi kepada harus dibuatnya pura, puri dan purana sebagai sarana penunjang kegiatan hidup berketuhanan. Khususnya tentang purana yang dapat menjelaskan kepada seluruh keturunan pasametonan nantinya dibuatkanlah prasasti seperti yang ada saat ini. Karena memang demikianlah sifat/karakter babad/prasasti/purana, selalu menggunakan keindahan bahasa sastra dengan kiasan-kiasan yang harus dikupas terlebih dahulu tidak dapat ditelan begitu saja. Ketidak-lengkapannyapun memiliki tujuan tujuan tertentu, misalnya tidak menyertakan urutan silsilah atau penamaan dengan jelas/samaran adalah untuk menghindari dari segala ancaman yang mungkin diketemukan oleh sepenerus keturunannya nanti. Sebagai sarana parhyangannya dipugarlah Pura Ulun Siwi menjadi 2 (dua) rong, dan di Puri/Rumah Pesalakan tinggal 2 (dua) trah. Inilah wujud aktualisasi dari bhisama tersebut telah dilakukan dengan taat.
Penulisan arah huluning kawitan pada babad / prasasti / prasasti/purana Ida Dalem Kembar seolah sama, dengan kejadian kelahiran dari Batu, kemudian disusui oleh kidang. Tetapi pada kenyataannya hanya keturunan Ida Dalem Putih Jimbaran saja yang memiliki pantangan terhadap daging kidang sedangkan keturunan Ida Dalem Ireng sama sekali tidak dapat dijumpai penjelasan tersebut. Pada beberapa babad penyanding lain, seperti Purana Pucak Kembar, Pacung, Baturiti, Babad Dalem Ireng, dan Babad Dalem Batu Kuwub, diceritakan bahwa yang kelahiran dari Batu adalah Ida Dalem Putih/Ida Dalem Batu Putih, sedangkan Ida Dalem Ireng dinyatakan dilahirkan dari buih air. Penulisan ini sepertinya lebih menegaskan bahwa yang sebenarnya lahir dari Batu sebagaimana prasasti induknya (prasasti trah Dalem Sri Krsna Kepakisan) adalah Ida Dalem Putih Jimbaran. Pada bagian lain dalam Prasasti Belayu, ataupun di Grya Satrya, kelahiran bagi Ida Dalem Putih Jimbaran diletakkan sebagai awal mula, disebut juga lebih tua/kakak. Dengan kata lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah Ida Dalem Putih Jimbaran. Juga jika dilihat dari sejarah kedatangannya ke Jimbaran, Ida Dalem Balangan/Ida Dalem Putih Jimbaranlah yang terlebih dahulu ada di Jimbaran, yang juga sebagai penguasa Jimbaran. Inilah kejelian penulis Ida Pedanda Grya Satrya dalam meletakkan tatanan yang adil dan sempurna dalam gaya bahasanya. Ini membuktikan bahwa Ida Dalem Putih Jimbaranlah yang sebenarnya keturunan Dalem yang dimaksud.
T
entang siapa Ida Dalem Putih Jimbaran telah terjelaskan di atas bahwa beliau tidak lain adalah Ida Dalem Balangan. Mengenai siapa Ida Dalem Ireng, apakah beliau itu I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made ataukah leluhurnya terdahulu yakni Arya Kepakisan? Menurut pertimbangan penyajian tulisan tentang sira Ida Dalem Putih Jimbaran yang kesujatiannya adalah Ida Dalem Balangan yang pertama datang ke Jimbaran. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Ida telah moksah. Dalam penyajian tulisan yang dimaksud sira Ida Dalem Ireng tentunya juga leluhur I Gusti Agung Putu Agung yang telah meninggal yang dituliskan. Mengingat kejadian upacara orang tua umumnya dilakukan oleh anaknya sendiri, maka ketika I Gusti Agung Putu Agung mengungsi menuju Jimbaran sebelum dapat mengupacarai orang tuannya, tentunya orang tua dari I Gusti Agung Putu Agung yang bergelar I Gusti Agung Di Made/ I Gusti Agung Maruti-lah yang di sungsung di Jimbaran oleh keturunannya. Karena sangat diyakini tidak akan ada pihak keluarga lain di lingkungan kerajaan yang masih tersisa ataupun berani melakukan upacara atiwa-tiwa kematian untuk seorang yang paling dicari oleh Raja Bali waktu itu.
Perjalanan hidup seseorang tidaklah dapat diketahui secara pasti bagi orang kebanyakan. Setelah tinggal beberapa waktu dengan aman dari gangguan kejaran pasukan kerajaan Dalem Klungkung dan dapat melaksanakan kewajiban hidup sebagaimana layaknya dengan kelengkapan sarana dan prasarananya. Sisi lain, kemanapun I Gusti Agung Putu Agung pergi, seperti ketika meninggalkan Jimbaran menuju arah Utara, selanjutnya membantu kerajaan Kapal mengalahkan kerajaan Beringkit dan daerah-daerah lainnya, senantiasa ceritera prasasti Dalem Kembar Wijiling watu ini dibawa dan dihayati kemudian disembahyangi dalam setiap kesempatan. Inilah yang kemudian menginspirasikan purana Pura Sada di Kapal. Demikian juga ketika keturunan I Gusti Agung Anom yang memegang kerajaan Kapal, satu generasi di bawah I Gusti Agung Putu Agung. Setelah dikalahkan oleh Pangeran Batu Tumpeng dan menjadi tukang kurung ayam di Kerajaan Tabanan, kembali mendapat perlindungan oleh I Gusti Bebalang di Marga (Urat Mara). Dari sini kemudian cikal bakal Raja Mengwi ini memperoleh kesidhian di Bukit Pangelengan. Selama berselang waktu perjalanan tersebut rentetan Pura-pura yang disembahyangi oleh beliau (yang juga menyebut nama I Gusti Agung Maruti), sudah tentu membawa pula ceritera Dalem Kembar, khususnya Dalem Ireng ini sebagai acuan persembahyangan secara spritual dan sebagai identitas mereka secara sekala. Identitas kasametonang dengan Ida Dalem Balangan di Jimbaran yang memberikan jalan hidup kelahiran kembali.
Dengan telah bangkitnya kembali eksistensi trah Arya Kepakisan sebagai penguasa mulai dari Kapal dan Beringkit, kemudian Keramas, selanjutnya kebesaran kerajaan Mengwi, maka kebutuhan untuk penggunaan sebutan Dalem Ireng sebagai hulu kawitan ataupun menjadikannya sebagai identitas individu secara “sekala” menjadi tidak vital lagi. Karena seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan wilayah kekuasaannya , akhirnya mendapatkan pengakuan dari Raja Bali, ini dibuktikan pada saat penganugerahan gelar kebangsawanan pada beberapa penguasa wilayah di Bali, yang dianggap berjasa oleh Ida Dalem. Sebagai penguasa kerajaan Keramas beliau telah dapat merenovasi kembali Pura Dukuh yang ditinggal cukup lama. Sedangkan sebagai penguasa Mengwi, juga telah membuat Pura Taman Ayun, dan juga Pedharman khusus di Besakih. Maka dari itu, hingga saat ini cerita tentang Ida Dalem Ireng di kalangan trah Arya Kepakisan/Nararya Krsna Kepakisan tidaklah begitu populer, karena telah lama ditinggalkan. Jika ada kelompok keluarga yang masih mengatasnamakan dirinya sebagai trah Dalem Ireng saat ini, tentunya sangat kebingungan menemukan afiliasi kawitan yang sesuai.
Dengan demikian sangatlah kuat sebagai dasar pemahaman tentang penokohan Ida Dalem Kembar yang dimaksud sebagai berikut;



1.      Ida Dalem Ireng adalah I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made, orang tua dari I Gusti Agung Putu Agung, yang datang ke Jimbaran. Sebutan Ida Dalem Putih Jimbaran adalah Ida Dalem Balangan.
2.      Mereka sama-sama dilahirkan pada lingkungan kerajaan di daerah Gel-gel, sama-sama keturunan Raja. Ida Dalem Balangan sebagai keturunan Raja Dinasti Sri Krsna Kepakisan, Raja Bali. Sedangkan I Gusti Agung Maruti juga sebagai mantan Raja Bali selama ± 24 tahun. I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made sejatinya juga sebagai keturunan Raja Kediri, Jawa Timur.
3.      Keturunan mereka berdua juga sama-sama memiliki pengalaman pahit dalam menyelamatkan diri dari kejaran pasukan kerajaan Bali/Gel-gel.
4.      Keturunan mereka yang berisikan darah sama, titik tolaknya dari unsur darah Ibu dari Ida Dalem Balangan (I Gst. Luh Balangan) yang juga berasal dari darah leluhur I Gst. Agung Maruti II. Dalam tatanan kekeluargaan di Bali hubungan darah diantara mereka berdua disebut “mindon”
5.      Atas dasar perpaduan darah tadi, ditambah dengan adanya bhisama Ida Dalem Waturenggong kepada keduanya, akhirnya persaudaraan yang ada menjadi semakin kental. Setelah mereka berdua berada di Jimbaran. Seakan menjadi trah baru dalam tatanan wangsa di Bali.
6.      Akhirnya menjadi jelaslah pemaknaan tokoh Ida Dalem Kembar ini, dengan kesujatian asal muasal beliau sebelum di Jimbaran.

Sira Dalem Ireng

SIRA DALEM IRENG
T
okoh lain yang ada dalam Babad/Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu sebagai kembaran Ida Dalem Putih Jimbaran adalah Ida Dalem Ireng. Gambaran kelahiran bersama yang dinyatakan “seketika lahir seketika itu pula dewasa” menyiratkan pemaknaan bahwa kelahiran kembar ketika dewasa dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa ketika mereka dewasalah mereka dipersaudarakan. Dimulai dari mereka berdualah persaudaraan itu terlahir. Setelah terlahirpun mereka berpisah. Ida Dalem Putih menuju arah neriti-pascima/Barat Daya dari tempat kelahiran mereka hingga menuju Jimbaran. Sedangkan Ida Dalem Ireng disebutkan menyusul mengikuti alur perjalanan Ida Dalem Putih ke Jimbaran.
Dalam penjelasan babad/purana Pura Pucak Kembar, Pacung-Baturiti, dan juga pada babad Dalem Batu Kuwub, perjalanan Ida Dalem Ireng mencari “kakangnya” Ida Dalem Putih diuraikan secara rinci tentang proses perjalanan dari tempat kelahiran mereka selanjutnya memberikan nama daerah pada setiap tempat yang dilalui/disinggahinya. Dalam perjalanan tersebut Ida Dalem Ireng menanyakan kepada masyarakat setempat nama wilayah yang dipastu oleh Ida Dalem Putih sesuai dengan kejadian yang terjadi dalam perjalanannya ketika itu. Seperti telah teruraikan pada penjelasan tentang Ida Dalem Putih Jimbaran, berikut penjelasan lain yang ada berkaitan dengan kisah perjalanan Ida Dalem Ireng.

CUPLIKAN PERJALANAN IDA DALEM IRENG
Salinan Purana Pucak Kembar, Pacung Baturiti
5.a.  ....., punggerpunang carita, sane mangkin bawosang indik Ida Dhalem Ireng, yukti sampun swe pisan Ida ngamel jagat karumasayang byahpara banget sane ngerangsuk ring sajeroning pekayun, tan mari eling Ida ring sametone, wetu pakayunan Ida “ Men apake gagunan gelahe ngisi gumi? Tusing lantas gelah nawang nyama, tapa guna yan rasayang gelah” kadi sapunika pakrimik pakayunan Ida, punika ngawinang jag matedah Ida, praya mangkin ngetut pamargan Ida I Raka Dhalm Sweta ngawanan/ngaohang pamargan Ida.
5.b.      Tan cinaritayang pamargan Ida, kancit rawuh Ida Dhalm Ireng ring padusunan, kapanggih irika wenten wong dusun, sarwi Ida mepariteken: “Jero, napike wastan Dusune puniki?, raris kacawis antuk wong Dusune: Jero, puniki mewasta Dusun/Desa Batu Hyang, riantuk sane riyin wiwitanipun keni kepastu antuk Ida Dhalm Sweta, sapunika hatur ipun ikawula, “Men sane mangkin ring dija Ida Dhalm Sweta?”, “Jero sane mangkin Ida malinggih ring Batu Haji”, digelisIda Dhalm Ireng nyujur genahe ring Batu Aji, kabuwatan Ida pisarat sumangdene prasida matemu ring I Raka Dhalm Sweta, tan bawosang ring pemargi kancit sane mangkin Ida sampun rawuh irika.
6.a.      Kenginan Ida malih maparitaken; “Jero, ring dija Ida Dhalem Sweta?” raris mehatur ipun ikawula; “Sane mangkin Ida Dhalm Sweta melinggih ring Batu Sasih”, mewali malih Ida Dhalm Ireng ngungsi Dusun/Desa Batu sasih, sakemawon nenten taler kepanggih sametone Ida Dhalm Sweta, punika ngawinang lascarya pemargin Ida ngungsi Desa Sakyamuni/Sakenan, kancit irika Ida matemu ring Ki Dhukuh, “ Ih paman Dhukuh, napike paman polih ngingat Ida Dhalm Sweta?”, “Inggih Ida Dhalm Sweta sane mangkin melinggih ring Jimbaran, kadi sapunika hatur penyawis ipun I Dhukuh”. Sane mangkin bawosang kesah Ida Dhalm Ireng sakeng Sakenan, tansah pekayunan Ida raris nyujur genah Desa Jimbaran, kandugi irika raris Ida matemu...
6.b.      ring panyeroan Ida Dhalm Sweta, rikala punika panyerowane tragya ayat ngaturang soda rayunan mantuk ring Ida Dhalm Sweta, sakemawon Ida Dhalm Ireng kadrupon ngerayunin sodane sane ayat kehatur ring Dhalm Sweta, panyerowane sane mewasta Ni Pring Gading, raris mehatur; “Jero, tityang tan uning ring Jerone, punika rayunane sodan Ida Bhatara Dhalm Sweta, tan dados kecacab antuk jatma seyosan” sesampune kapireng kadi sapunika katur ipun i panyerowan Ni Pring Gading, lamakane wangde raris Ida Dhalm Ireng ngerayunin sodane punika, kancit Ida Dhalm Ireng raris meparitaken.
7.a.      “Ih, dija Ida Dhalm Sweta ane jani?” raris mehatur ipun i panyerowan; “Ida Dhalm Sweta sane mangkin wenten malinggih ring genah pegagan(genah nandur Gaga), ngawinang pramangkin gagwson Ida Dhalm Ireng tedah nyujur genah Pegagane, sakemawon nenten taler kepanggih Ida Dhalm Sweta irika, riantuk Ida Dhalm Sweta sampun riyiman mewali ngungsi Desa Jimbaran, punika ngawinang pemargan Idane maimpas, bawosang ri sampune Ida Dhalm Sweta rawuh ring Keraton, digelis ipun i panyerowan mehatur kadi ring sor; “Singgih Palungguh Ratu Bhatara, sane wawu wenten manusa marupa sekadi tonya, pajegan ipun ageng gangsyuh, ipun purun ngungkabang bogem sodan Palungguh Bhatara, wiakti tan sida antuk tityang...
7.b.      naenang jejeh manah tityang, sarwi jatmane punika nakenang Palungguh Ratu Bhatara, tan pa samandana menggah pamiduka Ida Dhalem Sweta, gegatenan Ida Dhalm mewali memargi praya ngungsi genah Pegagane, gelising carita, kandugi sane mangkin sampun Ida rawuh ring genah Pegagane, irika raris matumu ring Ida Dhalm Ireng, riantuk pekayune Ida kelancubin antuk pamiduka, ngeraris sarosa metalang pati mayuda macepuk ring Ida Dhalm Ireng, pateh-pateh senjatane keris, yukti rames pisan yudane, saling tusuk, saling tagel, nenten wenten kaciwa pacepuk yudan Idane, nyantos pade makelumpasan carman Ida (kulit) sida lamakanipun payudan sang kalih...
8.a.      ngareredang raris pateh-pateh kalesuan, rikanjekan sapunika wawu raris saling takenin;, “Ih nyen ene Cai, Ih Cai ene enyen”, sapunika pedalit petaken Ida sang maka kalih, “Gelah mapesengan Dhalm Sweta, Gelah mapesengan Dhalm Ireng” ritatkala sapunika dumugi eling raris Ida Sang Kalih duk pemargine sane nguni, ring pateket ipun I Lembu Nandini, indik pamijilan Ida sareng kalih mawit kembar, kaoka antuk Ida sanghyang Pasupati sane riyin Ida Dhalem Sweta kapaicanin Keris/sanjata sane mewasta KALA KATENGGENG, Ida Dhalm Ireng kapaicanin keris/sanjata sane mewasta MIRING AGUNG, kala irika raris Ida wawu eling matunggilan masemeton, kancit risampune pada nyihynayang raga, tan papegatan ledang asih tresna mararemban ngalila cita Ida sareng kalih pada saling sumbungang.
8.b.      “Singgih Palungguh Beli Dhalm Sweta, dadosne katah sampun Beli ngardi wastan Desane, sane pinih ungkur, Palungguh Beli wenten jumenek ring Desa Jimbaran, taler Palungguh Beli sampun kinucap irika Ida Dhalm Putih Jimbaran, sane lugrahayang tityang nunas mepamit mantuk ring anggan palungguh Beli, tityang taler wenten manah jaga mekarya genah sumangdane macihnya ngangge wasta WATU, yan manawita benjang pungkur palungguh Beli wenten memanggihin wastan Desa medaging aran WATU, irika cihnayannyane tityang nahenin meneng irika, kadi sapunika hatur Ida Dhalm Ireng, sane mangkin tityang jaga mepamit ngungsi genahe sane nuju ngalerang, Nah mani puan apang ada anggona ciri olih manusa padane, tongos Beli Adine ma
9.a.      ane inuni adanin Beli BUKIT KALI. Caritayang sane mangkin pamarga Ida Dhalm Ireng ngalerang, kancit Ida mangkin rawuh ring tanah pategalan sane katah medaging punyan kelapa, kala irika jag muncrat mumbul toyan segarane, punika ngawinang Ida Dhalm Ireng, mengggah banget pamiduka, sarwi genahe punika raris kepastu antuk Ida kewastanin SESEH (punyan Nyuh), sesampun puput kadi punika raris keaksi warnan tanahe mewarna PUTIH tadah bedangin, wiyakti ring margi, kancit rawuh sane mangkin Ida ring genah tanahe sane mawarna putih punika, makesyab Ida riantuk cokor Ida macelos ring tanahe putih, kala irika Ida maling ngaruntuhang bawos pemastu, mewastu genahi pu...
9.b.      pika kewastanin WATU NYORONG utawi ngaran BATU BOLONG, sah sakeng irika malih Ida ngelanturang pemargai ngungsi nganginang, riwawu Ida memargi ring watune mewastu cokor Idane keleb utawi nyauh, irika taler Ida ngaruntuhang bawos pemastu kewastanin genahe punika BATU BELIG. Ngelalu pemargan Idane nyju nganginang, sesampun Ida rawuh ring basan tengah margine, jag runtuh Ida, malih genahe punika katiwakin bawos pemastu, kewastanin BATU ULUNG/BATU TULUNG. Doning dahat lami Ida ring margi, mewastu nyat taneng Idane/bedak, tan lali Ida digelis ngincepang pekayun ngraja dana sumangdene wenten toya, genahe punika raris kewastanin BATU BEDAK. Sane mangkin kedalon dalon kengin pamargin Idane, kancit sampun rawuh.........
dan seterusnya..............



D
engan memahami kesujatian Ida Dalem Putih Jimbaran berdasarkan uraian panjang lebar sebelumnya, penting pula dikenali sameton “kembaran” beliau yakni Ida Dalem Ireng. Dalam konsep pasametonan sebagaimana tertuang dalam prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu baik penguger maupun babad-babad penyanding, sejauh ini penjelasan tentang Ida Dalem Ireng beserta keturunannya sebagaimana tertuang dalam prasasti/babad tersebut kenyataannya juga masih belum dapat dipahami secara pasti afiliasi orientasi kawitannya. Pertimbangan akan perlunya mengetahui arah afiliasinya adalah sebagai pembuktian keterkaitan Ida Dalem Ireng dengan Ida Dalem Putih Jimbaran.
Tetapi jika diambil benang merah dari pemahaman Sira Ida Dalem Putih Jimbaran dengan berbagai macam data yang ditinggalkannya sejauh penggalian penelusuran hingga saat ini dari beberapa kenyataan data yang ditemukan, dapat dipertimbangkan sebagaimana kondisi berikut;
1.       Kenyataan warisan hubungan sebagaimana pasametonan sesungguhnya yang diamanatkan pada prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu maupun yang lainnya, tidak dapat dijumpai dan dilaksanakan hingga kini. Sehingga kondisi ini menyulitkan kaitan kekeluargaan yang dibhisama untuk tetap dilakukan. Adanya informasi tentang keberadaan keturunan/pratisentana Ida Dalem Ireng di beberapa wilayah seperti di Kedonganan, di Peguyangan dan mungkin di beberapa tempat lain, hingga saat ini keterkaitan sebagaimana sameton tidak pernah ada.
2.       Berdasarkan prasasti, keberadaan Ida Dalem Ireng yang begitu singkat tanpa meninggalkan seorang putera di Jimbaran selanjutnya menuju arah Utara/Badung. Perjalanan ini dipertegas lagi oleh babad lain yang menerangkan beberapa nama wilayah yang beliau lalui seperti Kerobokan (Batu ngerobok), Batu Belig (ketika menginjak batu yang licin), Batu Bedak (ketika beliau kehausan), Batu Bintang (Lumintang), Tonja dan seterusnya. Ceritanya pun menjadi bagian sakral pada Pura-pura yang tingkatannya bukan Pura sembarang sebagai misal di Pura Sada di Kapal, Pura Pucak Kembar Pacung Baturiti, serta Pura Dalem Batu Kuwub, menjelaskan secara rinci kisah Ida Dalem Kembar. Perbedaan mencolok dengan prasasti yang ada di Grya Satrya dan Br. Umadiwang, Belayu adalah pada bagian penjelasan perjalanan Ida Dalem Ireng meninggalkan Jimbaran. Secara logika ini dapat di perkirakan sebagaimana rentetan perjalanan hidup yang tidak akan pernah tercatatkan sebelum kejadian itu dilalui. Dengan demikian dapat diartikan bahwa babad-babad tersebut hadir setelah keberadaan Prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu di Jimbaran, milik pratisentana Ida Dalem Putih Jimbaran.
3.       Dalam prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu yang ada di Belayu terdapat penjelasan tentang Ida Dalem Kembar pergi meninggalkan kerajaan Klungkung setelah kelahiran mereka pada masa pemadegan Ida Dalem Di Made pada saat kejadian permasalahan dengan I Gusti Agung Maruti, tepatnya pada candra sangkala; Surya Gana Sad Pada lan Parwata, dina Wraspati Kliwon sasih Kapat tenggek sapisan rah pisan nampih karo, pangunyan ngedaksina rajya.Adanya data ini mengaitkan kita kepada sejarah kenyataan yang tertulis pada sejarah Dalem Sri Krsna Kepakisan tentang kejadian pengalihan kekuasaan oleh I Gusti Agung Maruti dari Ida Dalem Di Made (1677M). Dalam cerita lain pada babad Dalem Batu Kuwub, disebutkan bahwa Ida Dalem Ireng juga dikisahkan sebagai sosok “Beda hulu”. Ungkapan Beda hulu mengingatkan kisah seorang Raja Bali yang bertentangan dengan Raja Majapahit yang dianggap sebagai hulu. Penentangan dengan Raja Majapahit tersebut menjadikan Raja Bali waktu itu disebut dengan Raja Bedahulu.
Berangkat dari ulasan di atas dapatlah dipertimbangkan sebagai langkah awal yang memiliki alasan berdasarkan data-data otentik dari tulisan sejarah dan kenyataan keberadaan peninggalan Ida Dalem Ireng sebagai berikut;
1.       Terdapat kesamaan waktu tentang awal kejadian sebagaimana tertuang dalam babad/prasasti/purana tentang tokoh Ida Dalem Kembar Wijiling Watu dari tukad Unda atau daerah Klungkung ataupun disebutkan sebagai wilayah Gelgel dengan yang termuat dalam sejarah keturunan Ida Dalem Krsna Kepakisan.
2.       Terdapat kesamaan cerita yang mengisahkan setelah kelahiran yang sama, Ida Dalem Ireng menyusul Ida Dalem Putih Jimbaran menuju Jimbaran pada babad/prasasti/purana tentang Ida Dalem Kembar dengan kisah sejarah keturunan Ida Dalem Krsna Kepakisan bahwa Ida Brahmana Wayan Petung Gading keturunan Ida Dalem Putih Jimbaran, setelah sekian waktu di Jimbaran menerima kedatangan I Gusti Agung Putu Agung beserta rombongan pengungsiannya.
3.       Terdapat kesamaan cerita tentang Ida Dalem Ireng yang hanya beberapa saat tinggal di Jimbaran kemudian pergi menuju arah Utara/Badung setelah mencicipi sajian makanan Ida Dalem Putih Jimbaran dengan cerita dari beberapa sumber yang menyatakan bahwa I Gusti Agung Putu Agung pergi meninggalkan Jimbaran ke arah Utara bersama putri dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading bernama I Dewa Ayu Mas Jimbaran (yang dicicipinya..?)ke wilayah Utara/Badung kekuasaan Pangeran Tegeh Kori.
Oleh karena kejadian yang berhubungan dengan Ida Dalem Ireng di Jimbaran sangat singkat dan miskinnya data peninggalan lain yang ada, maka berdasarkan kesamaan diatas dapat disimpulkan dalam suatu kerangka cerita pemahaman Sira Dalem Kembar dalam ulasan sebagai berikut; 

Silsilah Pratisentana Dalem Petak Jimbaran


Lihat Diagram Silsilah Pratisentana Dalem Petak Jimbaran,  


D

alam penjelasan prasasti Dalem Kembar Wijiling Watu di Belayu keberadaan Putra dari Ida Brahmana Wayan Petung Gading dapat dijelaskan mulai dari waktu setelah Kerajaan Mengwi berdiri (berkisar antara 30 – 50 an tahun dari kejadian pelarian I Gusti Agung Putu Agung ke Jimbaran). Pada masa terjadi permasalahan yang dipicu oleh Ki Balian Batur (fase tahun 1700-1750M). Oleh Raja Mengwi waktu yang bergelar Cokorda Sakti Blambangan, I Gde Bandesa Gumyar diminta untuk menaklukan Ki Balian Batur dengan Ajian Sulambang Gni, Gni Wiracana, Pasupati Rencana, Canting Mas, Siwer Mas, Aji Kreket dan lain-lain beserta Aji Kalepasan yang dianugerahi oleh Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Setelah dapat ditaklukkan, dimintalah I Gde Bandesa Gumyar menetap di Mengwi. Dari ke 2 (dua) orang istri I Gde Bandesa Gumyar, beliau memiliki 5 (lima) orang putra. Dari yang tertua I Gde Duaja, I Gde Pangi, I Gde Buyar, I Gde Kerab dan I Gde Sahur. Setelah putra-putra beliau dewasa, terjadilah suatu permasalahan yang mengganggu ketentraman masyarakat di Belayu akibat ketidakmampuan Pinanditanya meredam kemurkaan Bhuta Kala bernama Ki Raksasa Kaburat Ula. Atas permohonan Raja Belayu kepada Raja Mengwi untuk mencarikan jalan keluar penyelesaian masalah tersebut, maka ditunjukklah putra sulung I Gde Bendesa Gumyar, yaitu I Gde Duaja yang telah menguasai kemampuan spiritual (meneruskan kemampuan orang tua dan leluhurnya) untuk menumpas Bhuta Kala tersebut. Berangkat dari penugasan tersebut I Gde Duaja menuju kerajaan Belayu. Di Belayu akhirnya I Gde Duaja berhasil menaklukkan Raksasa Kaburat Ula tersebut, kemudian meleburnya di tepi sungai Sungi. Kini tempat peleburan tersebut masih tetap dipergunakan sebagai tempat untuk membuang upakara caru, tepatnya di tepi jembatan baru masuk Belayu. Dengan keberhasilan tersebut, I Gde Duaja yang berniat kembali ke Mengwi, dimohon untuk tetap tinggal di Belayu dengan dibekali 200 (dua ratus) wadwa/panjak dan seperangkat gamelan. Mulai saat itulah I Gde Duaja menetap di Belayu. Sejalan dengan melebarnya wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi dan sadar akan putra dari I Gde Bandesa Gumyar yang lain beranjak dewasa, maka kemudian menyebarlah saudara-saudara I Gde Duaja ke berbagai penjuru menempati wilayah baru sebagai pengembangan wilayah Kerajaan Mengwi dan  dipercayakan sebagai pelindung masyarakatnya. Selain I Gde Duaja yang telah menetap di Belayu, adik-adiknya yang lain menuju ke tempat sebagai berikut;
a.      I Gde Pangi Ke Jimbaran kemudian ke Tista Kerambitan. Namun seorang putranya tetap di Mengwi.
b.      I Gde Buyar Ke Kayu Putih, Buleleng
c.       I Gde Kerab Ke Jembrana dan
d.     I Gde Sahur Ke Tunjuk, Marga, Tabanan

B
eberapa saat setelah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Mengwi mulai mendapat cobaan dan ujian berat dalam mempertahankan kedaulatan wilayahnya dari Kerajaan Badung. Dari kejadian ini, penglingsir yang masih ada di Mengwi menyelamatkan diri menuju anggota keluarganya  yang telah ada di Belayu, Marga dan Baluk, Jembrana. Tegak Natah Pekarangannya pun dirampas oleh pemenang perang, pasukan Kerajaan Badung. Beberapa waktu berikutnya setelah situasi kembali aman, salah satu penerus keturunan I Gde Pangi yang sebelumnya juga menyelamatkan diri ke Belayu, kembali lagi ke Mengwi untuk dapat merawat merajan yang tertinggal. Tetapi memilih tempat tidak pada pekarangan rumah aslinya terdahulu. Melainkan sisi “teba”nya, karena setelah perampasan tersebut, pekarangan yang terjarah itu selalu kosong tidak ditempati. Untuk menghindari kesalahan dalam urusan bhakti kepada leluhur, akhirnya dituntunlah Ida Bhatara di Merajan Mengwi bersama bangunan kemulan aslinya untuk dibuatkan linggih di Belayu (tempat Merajan Bp. Gde Arka Sindhu). Demikianlah keberadaan keturunan Ida Dalem Putih Jimbaran di Belayu, yang kini sesuai apa yang ditulis dalam prasasti menjadi penglingsir dari pilahan keluarga yang ada di Bali keturunan I Gde Bandesa Gumyar. Perkembangan terakhir dari KK yang ada berjumlah berkisar 625 KK.
T
entang penamaan I Gde Bandesa Gumyar, begitu banyak versi yang menyatakan tentang siapa yang sebetulnya mengalahkan Ki Balian Batur, cerita yang begitu melegenda. Pada babad Mengwi dikemukakan bahwa sebutan Bandesa Gumyar diberikan kepada seluruh perangkat perang yang telah berhasil mengalahkan Ki Balian Batur. Sebutan Bandesa Gumyar dimaknakan sebagai pemimpin yang dapat menciptakan gumi/kehidupan cerah kembali setelah mencekam di hantui rasa takut oleh ulah Ki Balian Batur. Dalam babad lain juga ada disebutkan bahwa Ki Balian Batur dikalahkan oleh adanya bantuan senjata milik Ida Dalem bernama Ki Narantaka dengan pelurunya bernama Ki Sliksik.
Nah, untuk tidak menjadikan kebingungan tentang siapa I Gde Bandesa Gumyar yang dimaksudkan oleh Prasasti Penguger yang telah dengan tegas-tegas menyatakan bahwa ajian pemberian Ida Pedanda Sakti Wawu Rawuh yang diberikan kepada leluhur kita (I Gde Bandesa Gumyar keturunan Ida Brahmana Petung Gading Penguasa Jimbaran)-lah yang dapat menaklukan Ki Balian Batur. Begitulah tulisan yang termuat dalam prasasti Belayu, menambah keyakinan akan yang dimaksud tersebut adalah memang leluhur kita. Menimbang upaya-upaya penutupan identitas yang sebenarnya dalam prasasti masih dianggap diperlukan.
2.      Kelompok Keluarga Keturunan Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran, di Jimbaran.
K
elompok keluarga yang dimotori oleh generasi muda Bp. I Md. Widana dan I Md. Restu ini, menyatakan diri sebagai keluarga besar pratisentana Ida Dalem Putih Jimbaran yang memang telah menjadi sungsungannya secara turun-temurun. Kelompok keluarga yang tinggal di timur laut Pura Ulun Siwi ini menjadi pekandel segara urusan kegiatan di Pura Ulun Siwi, Pura Prasidha, Kuta dan khususnya untuk Pura Dewa Ayu Mas Jimbaran. Kelompok keluarga ini telah kaperas putra oleh Ida I Dewa Ayu Mas. Trah yang mengaku secara turun temurun di ceritakan oleh tetuanya bahwa kaperas putra oleh Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran ini adalah;
-         Trah Puna Natah
-         Trah Pasek Kemoning,
-         Trah Pasek Pempatan,
-         Trah Pasek Gel-gel dan
-         Trah Arya Pinatih.
Dari apa yang telah mereka lakukan secara turun temurun, tidaklah mungkin dipungkiri bahwa mereka juga memiliki hak dan kewajiban berkawitan kepada Ida Dalem Putih Jimbaran menjadi bagian keluarga besar pratisentana Ida Dalem Putih Jimbaran. Hingga kini jumlah KK yang ada berkisar antara 40 – 50an KK. Merekalah yang mempertanggung-jawabkan pusaka Prasasti yang ada di Grya Satrya, sejak dialihkan posisinya dari rumah Pesalakan ke Grya Satrya dengan pertimbangan bahwa mereka juga berhak dan pantas sebagai penyungsungnya. Dalam kenyataannya sebelum mendapat penjelasan detail tentang fungsi prasasti secara harfiah, untuk sementara waktu sebelum diketahui secara pasti afiliasi kawitannya mereka memfungsikan prasasti tersebut sebagai linggih Pura Kawitan. Setelah mendapatkan penjelasan dari para penglingsir yang menggeluti pemahaman penelusuran sejarah dan juga terlibat dalam kepengurusan organisasi keluarga pratisentana Dalem Putih Jimbaran, mereka kemudian dengan sigap telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai pratisentana tidak saja dalam batasan sebutan sebagai Ida Dalem Putih Jimbaran, tetapi telah pula dilakukan langkah awal menuju Pedharman Leluhur dari Ida Dalem Putih Jimbaran/Ida Dalem Balangan yaitu menuju Pedharman Dalem Krsna Kepakisan di Besakih dan di Pedharman Dalem Tarukan, Pulasari Bangli. Mereka semakin yakin akan kebenaran langkahnya karena ditunjukkan berbagai macam bukti oleh sungsungannya yang juga semestinya menjadi sungsungan keluarga Besar Dalem Putih Jimbaran di Pura Pererepan Dewa Ayu Mas Jimbaran, Pura yang sangat dihormati di kalangan masyarakat umum Jimbaran.
3.      Kelompok keluarga trah Dalem Putih Jimbaran yang masih belum menemukan penjelasan detail terkait kesilsilahan namun memang telah melaksanakan kewajiban sebagai pratisentana secara turun temurun.
S
ejauh penulisan ini masih terdapat beberapa kendala untuk mendapatkan informasi tentang keturunan Ida Brahmana Wayan Petung Gading selain Ida I Dewa Ayu Mas Jimbaran. Menyadari akan situasi dan kondisi cerita sejarah sebagaimana terungkap dalam ulasan di atas, dapat ditangkap bahwa upaya penyamaran, tidak menyertakan dalam penulisan silsilah keturunan secara jelas, dan penggunaan simbolik simbolik sebagai warisan yang diterima saat ini adalah merupakan upaya penyelamatan pratisentana dari segala kemungkinan malapetaka yang kemungkinan lagi menimpa dikemudian hari. Oleh karenanya masih banyak tugas yang harus diemban untuk melengkapi kejelasan keberadaan pratisentana Ida Dalem Putih Jimbaran yang masih belum terhubung dalam tatanan silsilah ini. Dan bukan berarti kelompok keluarga yang belum tercatat dalam silsilah ini bukan merupakan bagian dari keturunan Ida Dalem Putih Jimbaran. Kita semua berharap, dalam rentang waktu penelusuran ke depan, penjelasan tentang keberadaan kelompok keluarga trah Dalem Putih Jimbaran dimanapun berada dapat terjelaskan secara jelas. Seperti:

-         Kelompok Keluarga di Perean, Baturiti Tabanan
-         Kelompok Keluarga di Tiying Gading, Tabanan
-         Kelompok Keluarga di Batubulan, Gianyar
-         Kelompok Keluarga di Suwung Kalimanjing, Denpasar
-         Dan Kelompok Keluarga yang lain

4.      Kelompok Keluarga yang atas petunjuk spiritual dari kejadian yang dialami ditunjukkan agar berhulu dan melaksanakan swadarmaning makawitan pada Ida Dalem Putih Jimbaran.
K
elompok keluarga ini berdasarkan keyakinan dan bukti nyata yang mereka dapat rasakan, mengawali pencerahan melalui petunjuk spiritual telah mulai melaksanakan kewajiban swadarmaning makawitan terhadap Ida Dalem Putih Jimbaran. Hal ini sangat mungkin terjadi pada beberapa kelompok keluarga mengingat kisah sejarah masa lalu yang demikian pelik. Hingga yang dipentingkan adalah hidupnya sebagai prioritas. Masalah asal muasal kawitan atau triwangsanya, mungkin juga bukti peninggalan penglingsirnya pun tidak sempat terbawa dalam penyelamatan diri dari ancaman-ancaman pasukan kerajaan yang dihadapi masa itu. Sehingga oleh penerus keturunannya kini sama sekali tidak dapat ditunjukkan hal yang prinsip untuk mengarahkan gambaran afiliasi kawitannya. Atas paica asih dari spirit leluhurnyalah muncul petunjuk-petunjuk agar dapat terhindar dari segala macam godaan-godaan, gangguan  yang ada.