Cari Blog Ini

Rabu, 01 Juni 2011

Abstraksi

Abstraksi
S
ameton, begitu kata yang sering terungkap manakala antara satu individu dengan yang lain terikat hubungan pertalian dengan persamaan-persamaan yang ada. Ungkapan sameton, bermakna kesamaan asal. Khusus akan halnya kesamaan asal muasal kelahiran genitas leluhur, dalam praktiknya di Bali mendapatkan perhatian yang begitu mengakar. Hingga menjadi suatu kewajiban bagi sameton ageng yang ada untuk melaksanakan segala kewajiban titah bhisama leluhur yang telah tersurat, tersimpan, terjanjikan menjadi suatu aturan ketat tanpa terbantahkan. Tanpa terbantahkan, karena sesuai hukum konsep purusa/lingga/kama putih, pada bagian inilah roh yang berkesesuaian jalur berada, bersiap untuk memasuki pintu kehidupan duniawi. Keberadaan jutaan sperma dalam setiap purusa yang  ada dalam satu individu inilah kemudian menjadikan cikal bakal keturunan yang suputra atau tidak, hal mana pada akhirnya akan memberikan citra kepada kelompok keturunan bersangkutan. Adanya upaya-upaya pengikatan tali pasametonan, tidaklah lain untuk saling mengingatkan, mengisi dan memberi/menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada dalam suatu kelompok keluarga yang berasal dari DNA yang sama, dan memiliki kewajiban yang sama pula. Karena dalam kebersamaanlah beban-beban dalam rangka mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan ajaran agama Hindu mencapai kebahagiaan abadi dalam kehidupan nyata/sekala dan niskala menjadi lebih ringan dan mudah untuk dilalui.
Pandangan Hindu, tentang hukum evolusi roh khususnya pemujaan leluhur diejawantahkan secara jelas melalui konsep parhyangan dimulai dari merajan pekomelan, merajan gede, dadia, panti, panti agung/paibon, kawitan hingga pedharman. Pada tingkatan Pedharman, leluhur dianggap telah mencapai tingkat kesucian tertinggi dan menyatu dengan Tuhannya. Tingkatan demi tingkatan dalam melalui proses tersebut tentunya tidak terlepas dari cubacubakarma sang roh itu sendiri. Pada proses niskala, evolusi setiap tingkatannya tentunya akan sangat-sangat panjang dalam ukuran waktu manusia (sekala). Yang menjadi lebih sulit dalam menapaki tahapan-tahapan evolusi itu adalah ketika perlengkapan seperti identitas sang roh serta arah alur perjalanan yang mesti dilalui tidak tepat. Dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan spiritual sang roh, yang menjadi bagian dari setiap makhluk, utamanya manusia, setelah masuk kepada kelahiran kembali pada dunia spiritual. Akankah dia lahir kembali menggunakan unsur Panca Maha Bhuta dalam bentuk manusia? Sadarkah sang manusia itu yang katanya sebagai makhluk utama, sebetulnya memiliki tugas dan kesempatan untuk memperbaiki dirinya memanfaatkan waktu hidupnya dalam rangka kembali menuju ke dunia spiritual yang lebih baik? Ataukah atas unsur Panca Budhi Indrianya yang dipengaruhi kuat oleh guna Rajas dan Tamas menjadikan kehidupan dirinya hanya sebagai budak kenikmatan duniawi?
Kekhawatiran pemikiran di atas, jauh sebelum kelahiran kita, bahkan jauh pula sebelum kelahiran leluhur yang ada saat ini, telah menjadi perhatian bagi penekun spiritual Hindu. Khususnya di Bali, atas kesadaran leluhur terdahulu pulalah kemudian diciptakan tata atur langkah menjalankan tugas hidup pratisentananya agar mencapai tingkatan yang baik. Bahkan dapat menuju Mokshartam Jagadhita ya caiti Dharma. Tata aturnya begitu jelas, demikian pula fasilitas-fasilitasnya pun telah tersiapkan seperti dalam bentuk Parhyangan, Prasasti/Purana, lontar cakepan dan lain-lain. Segala hal tersebut telah dipersiapkan pada dasarnya adalah hanya untuk kemudahan pratisentana dalam menjalankannya. Dengan demikian, sangatlah naif bila hanya dengan menjalankannya saja, si pratisentana tidak melaksanakan sebagaimana mestinya.
Namun, mesti disadari pula bila latar belakang pemahaman akan adanya bhisama leluhur yang tidak terpahami jelas oleh sang penerus, tentunya akan berdampak pada tertimpanya hukum-hukum niskala leluhur dalam konteks kehidupannya. Seringkali ketika kondisi ekonomi sang penerus dalam posisi puncak, keinginan untuk mengintrospeksi, melengkapi diri dalam kerangka memperbaiki diri sendiri dan sepenerus keturunan cenderung menipis. Bahkan tidak heran bila pada beberapa individu lain atas dalih-dalih pembenaran tertentu malah justru menistakan langkah-langkah Swadharmaning Makawitan yang dilakukan pihak lain.
Pandangan Hindu tentang kepercayaan akan adanya leluhur dan reinkarnasi, sangatlah jelas! Kemudian oleh kesiddhian pendekar sastra dan spiritual masa lalu di Bali, mengejawantahkan batasan-batasan kewajiban penerus keturunan dengan menciptakan tata atur dan tata titi swadharmaning prati sentana sebagaimana kita warisi kali ini. Tetapi orientasi yang dominan kearah dunia material sebegitu besarnya menjadikan hal penting dalam keseimbangan hidup berlandaskan Panca Sraddha ini terbutakan, terabaikan dan terlupakan. Terlepas dari kemajuan materi, kecerdasan serta kemakmuran yang telah dicapai oleh masing-masing individu prati sentanan Ida, bila ternyata dalam langkah pencapaian  kawitan masih terdapat kekurangan secara prinsip sebagaimana tugas/kewajiban prati sentana untuk melengkapi diri dalam melaksanakan tugas hidup, maka segala pencapaian yang ada itu hanyalah bersifat semu dan sesaat langkah. Akan tetapi bila pencapaian yang ada dibarengi dengan kesadaran upaya melengkapi pemahaman, pelaksanaan dan perawatan dalam kerangka memenuhi kewajiban/ swadhar maning makawitan, niscaya kemampuan dalam hal; Kesadaran, Kebenaran, Kecerdasan, Kekayaan Materi serta Kemakmuran dan kebahagiaan yang abadi akan dapat dicapai sebagai pengejawantahan konsep Catur Purusha Artha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar