Cari Blog Ini

Rabu, 01 Juni 2011

Sira Dalem Kembar Wijilling Watu

SIRA DALEM KEMBAR WIJILING WATU
B
erdasarkan cerita kejadian alih kekuasaan dari Ida Dalem Di Made kepada I Gusti Agung Di Made yang juga bergelar  dan I Gusti Agung Maruti, dan kejadian dikejar-kejarnya Ida Dalem Tarukan oleh pasukan Kerajaan Dalem Semara Kepakisan hingga Dalem Waturenggong untuk dibunuh karena mengakibatkan terbunuhnya putri kesayangan Ida Dalem Semara Kepakisan, kemudian mengapresiasikan bahasa sastra pada babad/prasasti/purana Ida Dalem Kembar Wijiling Watu, dapat disederhanakan garis besar ceritanya sebagai berikut;
Bahwa pemaknaan kembar dimaksudkan sebagai kesamaan tempat/lokasi kelahiran di Kerajaan Klungkung. Tentang kesamaan kelahiran dari batu besar atau air di tukad/sungai Unda, batu besar adalah simbolik dari kekuatan dasar /pengenteg. Pengenteg gumi/jagat adalah Raja.
Sedangkan sungai/tukad Unda adalah Sungai besar di wilayah Klungkung. Sungai/tukad juga bermakna sebagai tempat mengalirnya air dengan segala kekotoran yang dilaluinya. Dengan demikian pemaknaan kelahiran dari batu/air di tukad Unda dimaksudkan sebagai tergerusnya /diturunkannya /dibuangnya seseorang yang dahulunya sebagai bagian dari anggota keluarga kerajaan besar di wilayah Klungkung.
Pengupasan ini jika dikaitkan dengan kondisi Ida Dalem Putih Jimbaran/Ida Dalem Balangan yang lahir saat pelarian akibat Ida Dalem Tarukan dikejar kejar pasukan kerajaan Gel-gel, demikian pula terhadap I Gusti Agung Putu Agung yang dikejar pasukan kerajaan yang sama hingga kedua-duanya bertemu di Jimbaran. Inilah maksud penulis yang menyatakan kelahiran beliau Kembar dangan menyatakannya sebagai Dalem Kembar.
Melanjutkan ceritera tentang adanya sabda awang-awang/akasa/lembu nandini tentang bhisama kepada Ida Dalem Kembar tidak dapat menjadi penguasa kembali, hal ini seolah sebagai penegasan tentang bhisama Ida I Dewa Agung Jambe yang menjatuhkan bhisama nyusurang kewangsan dan kasametonang, menjadi semakin jelas adanya siapa yang dimaksudkan sebagai tokoh Ida Dalem Kembar tersebut. Mereka diberi nama yang sama Pesalahan. Inilah yang dimaksud dengan saudara kembaran dari kelahiran yang sama tetapi berbeda.
Menyadari akan ditulisnya cerita-cerita dalam berbagai babad/prasasti/purana yang ada baik penguger maupun penyanding ini dapat kita telusuri dan amati situasi yang terjadi dimulai ketika terjadinya peperangan laskar pendukung I Dewa Agung Jambe untuk mengembalikan tahta kerajaan Bali tahun 1677M itu, tentunya kondisi masyarakat sangat-sangat mencekam dalam ketakutan. Dalam rentang waktu peperangan yang akhirnya dapat mengakibatkan gugurnya I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made, keresahan masyarakat yang kesemuanya tertuju pada perkembangan situasi peperangan tersebut, kembali menegangkan khususnya masyarakat Jimbaran di bawah kekuasaan Ida Brahmana Wayan Petung Gading oleh karena rombongan pengungsian putra putri beserta pengikut I Gusti Agung Pt Agung menuju Jimbaran. Ketegangan seluruh masyarakat Bali akhirnya dapat diakhiri oleh kedatangan langsung Ida Brahmana Wayan Petung Gading menghadap Ida Dalem I Dewa Agung Jambe. Kondisi akhir inilah akhirnya membuat nama besar Ida Brahmana Wayan Petung Gading, yang dinyatakan sebagai trah Dalem di Jimbaran menjadi terkenal di Bali pada masa itu sebagai pahlawan pengandeg perang. Selanjutnya kehidupan masyarakat Jimbaran khususnya keluarga Ida Brahmana Wayan Petung Gading bersama I Gusti Agung Maruti 1200 orang pengikutnya yang datang ke Jimbaran mempersiapkan diri melaksanakan kehidupan baru dalam suasana baru. Disamping itu pula, menghadapi keputusan bhisama kasametonang yang diterima dari Ida Dalem I Dewa Agung Jambe, sudah tentu dimulai persiapan untuk mengaktualisasikannya. Karena tidak ada seorangpun yang berani menentang bhisama tersebut.
Dari sinilah dimulai upaya-upaya untuk membuat suatu tatanan baru melengkapi, memperbaharui atau membuat suatu yang baru tentang hal-hal yang sangat penting berkaitan dengan kegiatan keagamaan sebagai umat Hindu di Bali. Disamping itu, Ida Brahmana Wayan Petung Gading dan I Gusti Agung Putu Agung sebagai penguasa/keturunan penguasa, sudah barang tentu menjadi contoh anutan bagi seluruh rakyatnya dalam menaati perintah Guru Wisesa saat itu. Hal mendasar sebagai umat Hindu adalah berhubungan dengan kawitan (kepercayaan adanya leluhur), aktualisasi dari adanya bhisama kasametonang tersebut berimplikasi kepada harus dibuatnya pura, puri dan purana sebagai sarana penunjang kegiatan hidup berketuhanan. Khususnya tentang purana yang dapat menjelaskan kepada seluruh keturunan pasametonan nantinya dibuatkanlah prasasti seperti yang ada saat ini. Karena memang demikianlah sifat/karakter babad/prasasti/purana, selalu menggunakan keindahan bahasa sastra dengan kiasan-kiasan yang harus dikupas terlebih dahulu tidak dapat ditelan begitu saja. Ketidak-lengkapannyapun memiliki tujuan tujuan tertentu, misalnya tidak menyertakan urutan silsilah atau penamaan dengan jelas/samaran adalah untuk menghindari dari segala ancaman yang mungkin diketemukan oleh sepenerus keturunannya nanti. Sebagai sarana parhyangannya dipugarlah Pura Ulun Siwi menjadi 2 (dua) rong, dan di Puri/Rumah Pesalakan tinggal 2 (dua) trah. Inilah wujud aktualisasi dari bhisama tersebut telah dilakukan dengan taat.
Penulisan arah huluning kawitan pada babad / prasasti / prasasti/purana Ida Dalem Kembar seolah sama, dengan kejadian kelahiran dari Batu, kemudian disusui oleh kidang. Tetapi pada kenyataannya hanya keturunan Ida Dalem Putih Jimbaran saja yang memiliki pantangan terhadap daging kidang sedangkan keturunan Ida Dalem Ireng sama sekali tidak dapat dijumpai penjelasan tersebut. Pada beberapa babad penyanding lain, seperti Purana Pucak Kembar, Pacung, Baturiti, Babad Dalem Ireng, dan Babad Dalem Batu Kuwub, diceritakan bahwa yang kelahiran dari Batu adalah Ida Dalem Putih/Ida Dalem Batu Putih, sedangkan Ida Dalem Ireng dinyatakan dilahirkan dari buih air. Penulisan ini sepertinya lebih menegaskan bahwa yang sebenarnya lahir dari Batu sebagaimana prasasti induknya (prasasti trah Dalem Sri Krsna Kepakisan) adalah Ida Dalem Putih Jimbaran. Pada bagian lain dalam Prasasti Belayu, ataupun di Grya Satrya, kelahiran bagi Ida Dalem Putih Jimbaran diletakkan sebagai awal mula, disebut juga lebih tua/kakak. Dengan kata lain yang lebih tinggi tingkatannya adalah Ida Dalem Putih Jimbaran. Juga jika dilihat dari sejarah kedatangannya ke Jimbaran, Ida Dalem Balangan/Ida Dalem Putih Jimbaranlah yang terlebih dahulu ada di Jimbaran, yang juga sebagai penguasa Jimbaran. Inilah kejelian penulis Ida Pedanda Grya Satrya dalam meletakkan tatanan yang adil dan sempurna dalam gaya bahasanya. Ini membuktikan bahwa Ida Dalem Putih Jimbaranlah yang sebenarnya keturunan Dalem yang dimaksud.
T
entang siapa Ida Dalem Putih Jimbaran telah terjelaskan di atas bahwa beliau tidak lain adalah Ida Dalem Balangan. Mengenai siapa Ida Dalem Ireng, apakah beliau itu I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made ataukah leluhurnya terdahulu yakni Arya Kepakisan? Menurut pertimbangan penyajian tulisan tentang sira Ida Dalem Putih Jimbaran yang kesujatiannya adalah Ida Dalem Balangan yang pertama datang ke Jimbaran. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Ida telah moksah. Dalam penyajian tulisan yang dimaksud sira Ida Dalem Ireng tentunya juga leluhur I Gusti Agung Putu Agung yang telah meninggal yang dituliskan. Mengingat kejadian upacara orang tua umumnya dilakukan oleh anaknya sendiri, maka ketika I Gusti Agung Putu Agung mengungsi menuju Jimbaran sebelum dapat mengupacarai orang tuannya, tentunya orang tua dari I Gusti Agung Putu Agung yang bergelar I Gusti Agung Di Made/ I Gusti Agung Maruti-lah yang di sungsung di Jimbaran oleh keturunannya. Karena sangat diyakini tidak akan ada pihak keluarga lain di lingkungan kerajaan yang masih tersisa ataupun berani melakukan upacara atiwa-tiwa kematian untuk seorang yang paling dicari oleh Raja Bali waktu itu.
Perjalanan hidup seseorang tidaklah dapat diketahui secara pasti bagi orang kebanyakan. Setelah tinggal beberapa waktu dengan aman dari gangguan kejaran pasukan kerajaan Dalem Klungkung dan dapat melaksanakan kewajiban hidup sebagaimana layaknya dengan kelengkapan sarana dan prasarananya. Sisi lain, kemanapun I Gusti Agung Putu Agung pergi, seperti ketika meninggalkan Jimbaran menuju arah Utara, selanjutnya membantu kerajaan Kapal mengalahkan kerajaan Beringkit dan daerah-daerah lainnya, senantiasa ceritera prasasti Dalem Kembar Wijiling watu ini dibawa dan dihayati kemudian disembahyangi dalam setiap kesempatan. Inilah yang kemudian menginspirasikan purana Pura Sada di Kapal. Demikian juga ketika keturunan I Gusti Agung Anom yang memegang kerajaan Kapal, satu generasi di bawah I Gusti Agung Putu Agung. Setelah dikalahkan oleh Pangeran Batu Tumpeng dan menjadi tukang kurung ayam di Kerajaan Tabanan, kembali mendapat perlindungan oleh I Gusti Bebalang di Marga (Urat Mara). Dari sini kemudian cikal bakal Raja Mengwi ini memperoleh kesidhian di Bukit Pangelengan. Selama berselang waktu perjalanan tersebut rentetan Pura-pura yang disembahyangi oleh beliau (yang juga menyebut nama I Gusti Agung Maruti), sudah tentu membawa pula ceritera Dalem Kembar, khususnya Dalem Ireng ini sebagai acuan persembahyangan secara spritual dan sebagai identitas mereka secara sekala. Identitas kasametonang dengan Ida Dalem Balangan di Jimbaran yang memberikan jalan hidup kelahiran kembali.
Dengan telah bangkitnya kembali eksistensi trah Arya Kepakisan sebagai penguasa mulai dari Kapal dan Beringkit, kemudian Keramas, selanjutnya kebesaran kerajaan Mengwi, maka kebutuhan untuk penggunaan sebutan Dalem Ireng sebagai hulu kawitan ataupun menjadikannya sebagai identitas individu secara “sekala” menjadi tidak vital lagi. Karena seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan wilayah kekuasaannya , akhirnya mendapatkan pengakuan dari Raja Bali, ini dibuktikan pada saat penganugerahan gelar kebangsawanan pada beberapa penguasa wilayah di Bali, yang dianggap berjasa oleh Ida Dalem. Sebagai penguasa kerajaan Keramas beliau telah dapat merenovasi kembali Pura Dukuh yang ditinggal cukup lama. Sedangkan sebagai penguasa Mengwi, juga telah membuat Pura Taman Ayun, dan juga Pedharman khusus di Besakih. Maka dari itu, hingga saat ini cerita tentang Ida Dalem Ireng di kalangan trah Arya Kepakisan/Nararya Krsna Kepakisan tidaklah begitu populer, karena telah lama ditinggalkan. Jika ada kelompok keluarga yang masih mengatasnamakan dirinya sebagai trah Dalem Ireng saat ini, tentunya sangat kebingungan menemukan afiliasi kawitan yang sesuai.
Dengan demikian sangatlah kuat sebagai dasar pemahaman tentang penokohan Ida Dalem Kembar yang dimaksud sebagai berikut;



1.      Ida Dalem Ireng adalah I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made, orang tua dari I Gusti Agung Putu Agung, yang datang ke Jimbaran. Sebutan Ida Dalem Putih Jimbaran adalah Ida Dalem Balangan.
2.      Mereka sama-sama dilahirkan pada lingkungan kerajaan di daerah Gel-gel, sama-sama keturunan Raja. Ida Dalem Balangan sebagai keturunan Raja Dinasti Sri Krsna Kepakisan, Raja Bali. Sedangkan I Gusti Agung Maruti juga sebagai mantan Raja Bali selama ± 24 tahun. I Gusti Agung Maruti/I Gusti Agung Di Made sejatinya juga sebagai keturunan Raja Kediri, Jawa Timur.
3.      Keturunan mereka berdua juga sama-sama memiliki pengalaman pahit dalam menyelamatkan diri dari kejaran pasukan kerajaan Bali/Gel-gel.
4.      Keturunan mereka yang berisikan darah sama, titik tolaknya dari unsur darah Ibu dari Ida Dalem Balangan (I Gst. Luh Balangan) yang juga berasal dari darah leluhur I Gst. Agung Maruti II. Dalam tatanan kekeluargaan di Bali hubungan darah diantara mereka berdua disebut “mindon”
5.      Atas dasar perpaduan darah tadi, ditambah dengan adanya bhisama Ida Dalem Waturenggong kepada keduanya, akhirnya persaudaraan yang ada menjadi semakin kental. Setelah mereka berdua berada di Jimbaran. Seakan menjadi trah baru dalam tatanan wangsa di Bali.
6.      Akhirnya menjadi jelaslah pemaknaan tokoh Ida Dalem Kembar ini, dengan kesujatian asal muasal beliau sebelum di Jimbaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar